July 28, 2016

Mengalah dalam Berumah Tangga

Dulu, di saat bulan pernikahan, (tepatnya lupa) sebelum atau setelah akad, papa bilang begini sama saya “Sekarang kamu jadi istri, bukan tanggung jawab papa lagi. Pesen papa, yang harus kamu pikirkan adalah bagaimana cara membahagiakan suami, jangan berpikir untuk diri sendiri. Harus ngalah, turutin permintaan suami, apalagi kalau untuk keluarganya.”

Jujur, sempet terharu (dan sebel) saat papa ngomong seperti itu, hehehe. Terharu biruu membayangkan (dan sekarang mau nangis, haha) gimana perasaannya ngomong begitu sama anak pertamanya yang dirawat sejak kecil, dan kok bisa ngomong disuruh ngalah sama keluarga sendiri, suruh mengutamakan keluarga barunya. Sebelnya ya itu, kok ya nyuruh anaknya nyenengin keluarga orang lain, dibanding keluarga sendiri. Sempit banget yaa otak pengantin baruku saat itu, sebenarnya saya paham, saya harus bisa adil sama dua keluarga, tapi ga nyangka aja dapat pesan dari papa begitu.

Dan sekarang setelah 4 tahun menikah, dari awal pernikahan saya mencoba untuk menerapkan ilmu dari papa. Pelan pelan berusaha ikhlas, ingetnya surga dan senyumnya suami ^^. Mudah? Enggak, hehe, kadang juga nangis bawang, nangis kunir, nangis sereh (LOL). Tapi saya yakin, insya allah nanti ada yang akan saya tuai, insya allah baik dan bermanfaat. Dan pagi ini, saya dapat cerita dari seorang teman dunia maya di whatsapp, ceritanya tentang mengalahlah dalam rumah tangga. Bismillah…




MENIKAH : SENI MENGALAH

Beberapa pekan jelang menikah, saya yang kala itu masih berusia 22 tahun, meguru pada ibu. Apa yang perlu dilakukan agar pernikahan berjalan damai?

Ibu menjawab tanpa berpikir panjang. Seolah pertanyaan yang saya ajukan se sepele resep sayur lodeh.

“Nikah ki yo anggere wani ngalah..” (Nikah itu pokoknya berani mengalah)

Dua kata yang menggedor batin saya: BERANI dan MENGALAH

Kata BERANI biasanya disandingkan dengan hal yang berat, bahkan horor. “Berani mati” misalnya. Tapi ibu menyandingkan kata itu dengan MENGALAH. Saya mulai memahaminya sebagai tugas berat, yang tidak semua orang mau dan mampu menjalankannya.

Mengalah

Dan ini yang pada akhirnya saya jumpai, lalu saya pelajari dari lelaki yang sejak 18 tahun lalu saya dapati memiliki kepribadian baik.

Saat pernikahan masih serba kekurangan, dia akan lebih dulu mengambil piring plastik agar saya bisa menggunakan piring beling.

Saat anak belum lulus toilet training, dia yang akan bangun di tengah malam untuk menatur si kecil, padahal yang anak panggil saat itu adalah ibunya.

Saat makan di luar, dia akan makan dengan terburu-buru agar bisa cepat bergantian menggendong si kecil. Demi kuah bakso di mangkok saya tidak keburu dingin.

Saat mendapati satu bacaan yang menarik, dan saya tertarik, dia akan mengangsurkan bacaan itu. “Bacalah lebih dulu. Aku sudah selesai”

Saat memasak dan jumlah masakan itu terbatas. Bukan saya yang menyisihkan untuk bagiannya, tapi dia yang akan mengambilkan lebih dulu untuk saya, dalam jumlah yang lebih banyak darinya. “Aku sudah kenyang..” dan saya tahu itu bohong.

Saat ada sepotong roti, dia akan membaginya tidak sama besar. Tapi saya yang lebih besar. “Kamu kan menyusui. Butuh lebih banyak kalori..” dan kami akan berdebat panjang, lalu diakhiri dengan saya tidak akan memakan bagian yang besar itu sampai dia tarik kembali agar beratnya sepadan.

Saat saya akan memakai kamar mandi belakang (yang ukurannya lebih kecil dari kamar mandi depan) dia yang sedang berada di kamar mandi depan segera keluar dan meminta saya menempatinya. “Aku di belakang aja. Nanti kamu kaget kalau banyak kecoa..”

Saat saya marah, meski kemarahan itu tidak masuk akal, dia yang mendekat, mengangsurkan tangan dan meminta maaf. Padahal masalah sebenarnya pun belum terang ia cerna.

Ini akhlak. Ini ngalah. Dan ini cinta

Entah bagaimana caranya dia tidak bosan mengalah, dan tidak pula berdendang “Mengapa s’lalu aku yang mengalah..”

Enteng saja dia menjalani itu. Ikhlas saja. Senang-senang saja. Tapi dampaknya sangat besar buat saya.

Apa itu? Penghormatan, penghargaan, dan respek.

Untuk segi kematangan emosional, saya tertatih-tatih di belakangnya. Marah dan mau menang sendiri, selalu menjadi bagian saya.

Tapi sikap ngalah yang dia tunjukkan, lambat laun jadi mematangkan emosi itu. Sekaligus membuat saya juga jadi ingin mengalah. Ngalah untuk tidak memancing sikap ngalahnya, yang saya rasa sudah berlebihan dia beri pada saya.

Ya..ya.. pernikahan memang selaiknya menjadi hubungan yang take and give. Saling memberi saling menerima. Saling menutupi dan memahami.

Tentu jika hanya satu pihak saja yang terus mengalah, dan pihak yang lain memanfaatkan sikap ngalah itu, kedamaian hanya jadi angan. Karena pasti ada bom waktu di balik sikap ngalah itu.

Namun mengalah adalah seni untuk memenangkan hati pasangan. Dan pasangan yang baik (baca: tahu diri) pasti akan menyambut sikap ngalah ini dengan suka cita, kesyukuran, lalu menghargai usaha dari pasangannya.

Mungkin ini yang membuat ibu menjawab “ngalah” sebagai kunci kedamaian berumah tangga.

*

Dan kini saya pun bertanya padanya, si lelaki pengalah itu. “Mengapa kamu selalu mengalah padaku?”

Jawabannya sederhana saja. Se-sederhana resep sayur lodeh:

“Aku tidak pernah merasa ngalah. Yang aku lakukan hanyalah menjaga agar kita tidak pernah terpecah belah..”

Untukmu yang berani mengalah,      
Dari fb: Wulan Darmanto

0 komentar:

Post a Comment

Biar aku bisa jalan jalan ke blogmu, silahkan tinggalkan komen di postingan ini yah